Kamis, 10 November 2011

Burung HONG

Kembang Gede

Kembang Gede disebut juga "burung hong". Salah satu jenis perhiasan khas Betawi dengan bertangkai cabang yang cukup panjang. Perhiasan ini biasa dipakai sebagai pelengkap pakaian untuk kegiatan resmi atau kegiatan adat.


Batik Betawi
Ciri khas kain batik betawi yaitu kain sarung dengan menonjolkan motif Tumpal, yaitu bentuk motif geometris segitiga sebagai barisan yang memagari bagian kepala kain dan badan kain. Saat dikenakan, Tumpal harus ada di bagian depan. Motif burung hong juga masuk dalam ciri khas batik betawi sebagai perlambang kebahagiaan.


Burung HONG


Burung HONG merupakan burung legendaris yang keramat dimana di beberapa bagian negara mengenal burung ini. Wujud burung ini api berbulu emas yang memiliki bulu yang sangat indah berwarna merah dan keemasan dan juga bisa hidup abadi diberbagai kebudayaan. Dalam mitos dikatakan burung ini dapat hidup selama 500 tahun atau 1461 tahun. Bila burung HONG ini merasakan kematiannya sudah dekat, ia akan membakar dirinya sendiri. Dari abunya itulah, burung HONG baru akan bangkit dan memulai kehidupan baru. Burung ini menjadi simbol keabadian. Siklus kehidupan setelah mati. Kebangkitan adalah awal dari sebuah era.

Batik Burung HONG

Burung HONG termasuk kategori batik jenis motif salaka, sedangkan batik betawi terbagi dari beberapa jenis lagi, yaitu Ondel - ondel, Nusa Kalapa, Ciliwung dan Rasamala, yang kesemuanya memiliki ciri dan adat masing - masing pemakai. Beda lagi dengan motif saruang atau terkenalnya dengan kaen sarung yang biasanya bermotif kotak - kotak.

Biasanya dalam tradisi pemanggilan arwah, batik burung HONG dijadikan pakaian wajib dan biasanya pula diawali dengan tarian burung sebelum upacara panggil arwah dimulai.

Upacara tersebut kalau jaman sekarang biasa disebut dengan tawassulan yang acaranya dibarengi dengan maulid sedangkan tariannya sudah diganti dengan rebana atau ketimpringan. Hanya saja tradisi ini bagi mereka yang awam akan dibilang musyrik.


(Dari berbagai sumber..)

Begawan Pulasari dan Begawan Sakri


Ilustrasi


Pada zaman dahulu, ada dua orang guru yang mengajarkan beladiri. Masing-masing bernama Begawan Pulasari dan Begawan Sakri. Guru-guru ini mempunyai banyak murid yang berasal dari seluruh pelosok Betawi dan tanah seberang. Mereka semua patuh terhadap perintah gurunya. Kedua guru itu mengajar ilmu bela diri silat dan ilmu kebatinan. Begawan Pulasari selalu mengajarkan kepada murid-muridnya agar ilmu yang dipelajarinya digunakan untuk kebaikan dan tidak merugikan orang lain. Berbeda dengan Begawan Pulasari, Begawn sakri memberikan kebebasan kepada murid-muridnya. Tidak heran bila banyak murid yang menggunakan ilmu itu untuk berbuat kejahatan.



Sumber Air Palasari

Pada suatu hari, kedua guru itu melepas kepergian murid-muridnya keseluruh pelosok Betawi dan dearah lain. Murid-murid Begawan Pulasari banyak dipuji orang karena selalu menolong dan berbuat kebaikan. Sementara Mangitem, salah satu murid Begawan Sakri, dibenci dan ditakuti masyarakat. Ia suka mabuk, mencuri, dan mengganggu orang lain. Apalagi, ia merasa telah memiliki ilmu yang tinggi. Namun, ilmunya hanya digunakan untuk memenuhi keinginan hawa nafsunya.

Di pantai utara terdapat kampung nelayan yang penduduknya hidup rukun, tenteram, dan aman. Mata pencaharian mereka adalah menangkap ikan di laut. Hasil tangkapannya dijual dan dimakan sendiri. Keadaan berubah setelah Mangitem datang di kampung itu. Penduduk menjadi resah karena keadaan menjadi kacau. Dengan ketinggian ilmunya, Mangitem dapat menciptakan panas dan angin kencang yang dapat menimbulkan kebakaran. Mangitem sengaja menimbulkan kebakaran agar ia dapat seenaknya merampok harta milik penduduk. Ia juga tidak segan-segan mengganggu kaum perempuan.

Junaid, murid Begawan Pulasari, mendengar berita kekacauan di kampung nelayan yang disebabkan oleh Mangitem. Junaid segera menuju kampung itu. Setelah perjalanan beberapa hari, Junaid iba di kampung yang sudah porak poranda. Rumah penduduk banyak yang musnah terbakar. Ketika melihat-lihat keadaan kampung, Junaid mendengar suara ingar bingar. Ia mendekati suara itu. Tiba-tiba, seseorang berperawakan tinggi besar berdiri tepat di depan pintu. Ia menegur Junaid dengan kasar.

“Hai, pemuda kampung, mengapa engkau berani dating kemari?” ujar Mangitem.
“Jadi ini yang namanya Mangitem? Engkau tlah menyalah-gunakan ilmumu. Insaflah dan hentikan perbuatan jahatmu! Bila tidak, aku akan menghancurkanmu!” sahut Junaid dengan tidak gentar.
“Segera pergi dari kampung ini! Apa kamu mau jadi pahlawan? Jangan ikut campur urusanku!” balas Mangitem sambil menunjuk Junaid.

Junaid tidak banyak bicara. Ia segera memasang kuda-kuda dan bersiap untuk menyerang. Keruan saja, Mangitem menjadi berang. Ia melancarkan serangan-serangan maut, namun Junaid dapat menghindari serangan itu. Junaid pun balik menyerang. Terjadilah perang tandhing atau perkelahian dua pendekar yang sama-sama mempunyai ilmu tinggi.

Pertarungan mereka sangat seru. Pertarungan sudah berlangsung lama, tetapi tidak ada satu pun kalah. Mangitem tidak menyangka ada orang yang dapat menandingi ilmunya. Tiba-tiba, Junaid teringat salah satu ilmu gurunya, yaitu ilmu *****. Junaid berkonsentrasi, memohon kepada Tuhan Hyang Maha Kuasa agar lawannya diberikan kelengahan.

Permohonan Junaid terkabul, Mangitem pun terlena. Kesempatan itu dimanfaatkan Junaid untuk menghajar perut Mangitem hingga tewas.

Sebelum tewas, Mangitem menhubungi gurunya dengan ilmu kebatinannya. Mendengar muridnya dikalahkan, marahlah Begawan Sakri. Dalam waktu singkat, Begawan Sakri tiba di kampung nelayan. Junaid kaget, Ia melihat sekelebat bayang mendekatinya secara tiba-tiba dan terdengar suara.

“Hai Junaid, apa yang telah kau perbuat terhadap muridku, Mangitem?” gertak Begawan Sakri.
“Seperti yang kau lihat wahai Begawan Sakri. Aku membunuhnya karena dia telah berbuat kejahatan dan bersikeras tidak mau menghentikan kejahatannya.” sedikit gentar Junaid menjawab karena yang dihadapannya adalah gurunya Mangitem.

“Kau harus membayarnya Junaid! Ku bunuh kau!” dengan geramnya Begawan Sakri menghardik.

Sementara itu, Begawan Pulasari telah mengetahui kejadian itu lebih awal. Dan melihat juga kehadiran Begawan Sakri. Akan tetapi tiba-tiba Begawan Sakri menyadari ada orang lain di sekitarnya yang sedang memperhatikan mereka berdua.

“Hmm, siapa kau? Keluarlah, jangan bersembunyi!” ujar Begawan Sakri berharap sosok itu menunjukkan batang hidungnya.

Maka keluarlah Begawan Pulasari dengan sekelebat bayangan sudah berada di samping muridnya, Junaid. Kedua guru itu bertemu.  Maka terjadilah percakapan antara guru.

“Ternyata kau Pulasari, apa yang kau lakukan di sini? Membantu muridmu membunuh muridku!” tuduh Begawan Sakri.
“Tidak wahai Begawan Sakri. Biarlah anak muda menyelesaikan permasalahannya sendiri diantara mereka, orang tua tidak perlu ikut campur..” balas Begawan Pulasari.

“Diam kau Pulasari! Kau pun tahu bahwa muridmu telah membunuh muridku!” ujar Begawan Sakri.
“Jika orang tua ikut campur urusan anak muda, maka orang tua yang lain pun sudah akan tentu ikut campur pula!” balas Begawan Pulasari dengan tenang dan waspada.

“Baiklah kalau itu maumu. Bersiaplah!” terang Begawan Sakri.

Ilustrasi

Perang Tandhing antara kedua guru berilmu tinggi tidak terelakkan. Sulit dibayangkan karena masing-masing mengeluarkan aji kesaktiannya. Pertarungan tersebut pun sulit dilihat mata awam karena gerakan silat mereka sangat cepat sehingga yang terlihat hanya sekelebat bayangannya saja, kadang keluar cahaya. Junaid pun hanya bisa terdiam dan terheran kagum melihat kedua guru tersebut bertarung. Baru kali ini ia menyaksikan perang tandhing yang diluar pengetahuannya. Untung saja Junaid bukanlah orang awan, sehingga Ia mampu melihat pertarungan tersebut. Itulah gerakan silat yang sudah menyatukan gerakan lahir dan bathin secara sempurna. Pada akhirnya disuatu kesempatan, Begawan Sakri lengah.

Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Begawan Pulasari untuk menyerang dengan pukulan yang sangat keras. Begawan Sakri terluka dan melarikan diri. Begawan Pulasari pun mengejarnya. Namun, Ia tidak menemukannya.

Masjid Marunda Tempo Dulu


Dalam pengejarannya, Begawan Pulasari sampai ke kerumunan orang di sebuah kampung bernama Marunda. Begawan Pulasari mengira kalau Begawan Sakri sedang membuat keonaran.

“Hai penduduk , apa yang sedang kalian lakukan?” tanya Begawan Sakri dengan waspada.
“Kami sedang membangun masjid, tempat ibadah umat Islam” kata ketua kampung.

Mendengar jawaban itu, Begawan Pulasari terheran-heran. Ia mengawasi sekelilingnya dengan pandangan mata yang tajam. Tiba-tiba, dalam pandangan bathin Begawan Pulasari melihat ada enam masjid lain di tempat berbeda. Melihat keadaan itu, penduduk dan para pembantu Syarif Hidayatullah menghentikan pembangunan masjid. Mereka menghindari kesalah-pahaman yang mungkin timbul. Begawan Pulasari pamit kemudian meneruskan perjalanannya.

Syarif Hidayatullah adalah seorang tokoh yang pada saat itu sedang dalam perjalanan dari barat ke timur, dan juga merupakan penyebarkan agama Islam di tanah Jawa bagian barat. Akhirnya, pembangunan masjid itu dihentikan dan ditunda. Para pembantu Syarif Hidayatullah segera mengalihkan pembangunan masjid di daerah Cilincing. Masjid itu sekarang masih tegak dan diberi nama Masjid Al’Alam. Sementara masjid yang tertunda, dilanjutkan sampai selesai. Masjid itu bernama Masjid Marunda di Kampung Marunda.
Masjid Al-Alam 2011
(Dari berbagai sumber..)

Selasa, 08 November 2011

Penyebaran Islam di Betawi


Sejarawan keturunan Jerman, Adolf Heuken SJ, dalam buku Masjid-masjid Tua di Jakarta, menulis tiada masjid di Jakarta sekarang ini yang diketahui sebelum 1640-an. Dia menyebutkan Masjid Al-Anshor di Jl Pengukiran II, Glodok, Jakarta Kota, sebagai masjid tertua yang sampai kini masih berdiri. Masjid ini dibangun oleh orang Moor artinya pedagang Islam dari Koja (India).

Sejarah juga mencatat pada Mei 1619, ketika VOC menghancurkan Keraton Jayakarta, termasuk sebuah masjid di kawasannya. Letak masjid ini beberapa puluh meter di selatan Hotel Omni Batavia, di antara Jl Kali Besar Barat dan Jl Roa Malaka Utara, Jakarta Kota.

Untuk mengetahui sejak kapan penyebaran Islam di Jakarta, menurut budayawan dan politisi Betawi, Ridwan Saidi, bisa dirunut dari berdirinya Pesantren Quro di Karawang pada tahun 1418. Syekh Quro, atau Syekh Hasanuddin, berasal dari Kamboja. Mula-mula maksud kedatangannya ke Jawa untuk berdakwah di Jawa Timur, namun ketika singgah di pelabuhan Karawang, Syekh urung meneruskan perjalanannya ke timur. Ia menikah dengan seorang gadis Karawang, dan membangun pesantren di Quro.

Makam Syekh Quro di Karawang sampai kini masih banyak diziarahi orang. Di kemudian hari, seorang santri pesantren itu, yakni Nyai Subang Larang, dipersunting Prabu Siliwangi. Dari perkawinan ini lahirlah Kean Santang yang kelak menjadi penyebar Islam. Banyak warga Betawi yang menjadi pengikutnya.

Menurut Ridwan Saidi, di kalangan penganut agama lokal, mereka yang beragama Islam disebut sebagai kaum langgara, sebagai orang yang melanggar adat istiadat leluhur dan tempat berkumpulnya disebut langgar. Sampai sekarang warga Betawi umumnya menyebut mushola dengan langgar. Sebagian besar masjid tua yang masih berdiri sekarang ini, seperti diuraikan Heuken, dulunya adalah langgar.

Menelusuri awal penyebaran Islam di Betawi dan sekitarnya (1418-1527), Ridwan menyebutkan sejumlah tokoh penyebarnya, seperti Syekh Quro, Kean Santang, Pangeran Syarif Lubang Buaya, Pangeran Papak, Dato Tanjung Kait, Kumpo Datuk Depok, Dato Tonggara, Dato Ibrahim Condet, dan Dato Biru Rawabangke.

Pada awalnya penyebaran Islam di Jakarta mendapat tantangan keras, terutama dari bangsawan Pajajaran dan para resi. Menurut naskah kuno Carios Parahiyangan, penyebaran Islam di bumi Nusa Kalapa (sebutan Jakarta ketika itu) diwarnai dengan 15 peperangan. Peperangan di pihak Islam dipimpin oleh dato-dato, dan di pihak agama lokal, agama Buwun dan Sunda Wiwitan, dipimpin oleh Prabu Surawisesa, yang bertahta sejak 1521, yang dibantu para resi.

Bentuk perlawanan para resi terhadap Islam ketika itu adalah fisik melalui peperangan, atau mengadu ilmu. Karena itulah saat itu penyebar Islam umumnya memiliki ‘ilmu’ yang dinamakan elmu penemu jampe pemake. Dato-dato umumnya menganut tarekat. Karena itulah banyak resi yang akhirnya takluk dan masuk Islam. Ridwan mencontohkan rersi Balung Tunggal, yang dimakamkan di Bale Kambang (Condet, Kramatjati, Jakarta Timur).

Prabu Surawisesa sendiri akhirnya masuk Islam dan menikah dengan Kiranawati. Kiranawati wafat tahun 1579, dimakamkan di Ratu Jaya, Depok. Sesudah masuk Islam, Surawisesa dikenal sebagai Sanghyang. Ia dimakamkan di Sodong, di luar komplek Jatinegara Kaum. Ajaran tarekat dato-dato kemudian menjadi ‘isi’ aliran maen pukulan syahbandar yang dibangun oleh Wa Item. Wa Item adalah syahbandar pelabuhan Sunda Kalapa yang tewas ketika terjadi penyerbuan oleh pasukan luar yang dipimpin Falatehan (1527).

Selain itu juga ada perlawanan intelektual yang berbasis di Desa Pager Resi Cibinong, dipimpin Buyut Nyai Dawit yang menulis syair perlawanan berjudul Sanghyang Sikshakanda Ng Kareyan (1518). Sementara, di Lemah Abang, Kabupaten Bekasi, terdapat seorang resi yang melakukan perlawanan terhadap Islam melalui ajaran-ajarannya yang menyimpang. Resi ini menyebut dirinya sebagai Syekh Lemah Abang, atau Syekh Siti Jenar. Tantangan yang demikian berat mendorong tumbuhnya tradisi intelektual Betawi.

Seperti dituturkan Ridwan Saidi, intelektualitas Islam yang bersinar di masyarakat Betawi bermula pada abad ke-19 dengan tokoh-tokoh Guru Safiyan atau Guru Cit, pelanjut kakeknya yang mendirikan Langgar Tinggi di Pecenongan, Jakarta Pusat.

Pada pertengahan abad ke-19 hingga abad ke-20 terdapat sejumlah sentra intelektual Islam di Betawi. Seperti sentra Pekojan, Jakarta Barat, yang banyak menghasilkan intelektual Islam. Di sini lahir Syekh Djuned Al-Betawi yang kemudian menjadi mukimin di Mekah. Di sini juga lahir Habib Usman Bin Yahya, yang mengarang puluhan kitab dan pernah menjadi mufti Betawi.

Kemudian, sentra Mester (Jatinegara), dengan tokoh Guru Mujitaba, yang mempunyai istri di Bukit Duri. Karena itulah ia secara teratur pulang ke Betawi. Guru Mujitaba selalu membawakitab-kitab terbitan Timur Tengah bila ke Betawi. Dia punya hubungan dengan Guru Marzuki Cipinang, yang melahirkan sejumlah ulama terkemuka, seperti KH Nur Ali, KH Abdullah Syafi’ie, dan KH Tohir Rohili.

Juga, sentra Tanah Abang, yang dipimpin oleh Al-Misri. Salah seorang cucunya adalah Habib Usman, yang mendirikan percetakan 1900. Sebelumnya, Habib Usman hanya menempelkan lembar demi lembar tulisannya pada dinding Masjid Petamburan. Lembaran itu setiap hari digantinya sehingga selesai sebuah karangan. Jamaah membacanya secara bergiliran di masjid tersebut sambil berdiri.



Geografis Betawi

Peta Betawi


Wilayah geografi atau peta bumi adalah daerah tempat berdiam suatu suku bangsa. Tempat berdiam itu berbatas dengan tempat berdiam suku bangsa lain yang biasanya dibedakan dengan bahasa pergaulan yang dipergunakannya.
Wilayah geografi Betawi tidak sama dengan wilayah geografi Jakarta. Wilayah geografi Jakarta adalah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Dimanakah letak wilayah tempat berdiam orang Betawi? Orang Betawi berdiam di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Geografinya terletak di antara batas-batas sebagai berikut:

1. Sebelah barat sungai Cisadane
2. Sebelah timur sungai Citarum (bahkan jauh sampai Batu Jaya, Kerawang)
3. Sebelah selatan kaki gunung Salak
4. Sebelah utara laut Jawa.

Wilayah tempat orang Betawi berdiam itu meliputi daerah propinsi DKI Jakarta, daerah propinsi Banten, dan daerah propinsi Jawa Barat. Perinciannya sebagai berikut :

1. Propinsi DKI Jakarta
2. Kabupaten Tangerang
3. Kotamadya Tangerang
4. Kabupaten Bekasi
5. Kotamadya Bekasi
6. Kotamadya Depok
7. Sebagian daerah kabupaten Bogor.
8. Sebagian Kerawang (Batu Jaya, Pakis Jaya)

Secara administratif orang Betawi ada yang menjadi penduduk DKI Jakarta, penduduk kabupaten Tangerang, penduduk kotamadya Tangerang, penduduk kabupaten Bekasi, penduduk kotamadya Bekasi, penduduk kotamadya Depok, dan penduduk kabupaten Bogor.

Wilayah kebudayaan Betawi
Wilayah kebudayaan Betawi meliputi daerah dimana terdapat kelompok orang Betawi. Berdiam. Di wilayah tempatnya berdiam itu mereka bercakap-cakap dalam bahasa Betawi. Kesenian Betawi menjadi salah satu sarana hiburannya.
Wilayah kebudayaan Betawi meliputi :

1. Sub wilayah kebudayaan Betawi Pesisir
Sub wilayah kebudayaan Betawi Pesisir meliputi daerah darat dan pulo.
a. Daerah darat yaitu Dadap, Muara Baru, Sunda Kalapa, Kampung Japad, Kampung Bandan, Ancol, Tanjung Priuk, Marunda
b. Daerah pulo yaitu Kabupaten Kepulauan Seribu.

2. Sub wilayah kebudayaan Betawi Tengah/Kota meliputi daerah yang di jaman Kolonial disebut Weltevreden, dan Meester Cornelis yaitu: Glodok, Krukut, Jembatan Lima, Tambora, Tanah Sereal, Petojo, Gambir, Sawah Besar, Pecenongan, Taman Sari, Pasar Baru, Kebon Siri, Kampung Lima, Tanah Abang, Kwitang, Senen Gunung Sari, Kramat, Salemba, Cikini, Gondangdia, Matraman, Pal Meriam, Jatinegara.

3. Sub wilayah kebudayaan Betawi Pinggir adalah daerah-daerap propinsi DKI Jakarta yang tidak termasuk Betawi Pesisir atau Betawi Tengah.

4. Sub wilayah kebudayaan Betawi Ora/Udik terdapat di kabupaten Tangerang, kotamadya Tengerang, kabupaten Bekasi, kotamadya Bekasi, kotamadya Depok, sebagian kabupaten Bogor.

Tentu ini masih dapat diperdebatkan, lantaran rekam jejak keetnisan Betawi kian hari kian melebar, melewati batas-batas yang disebutkan itu.

Jadi, kini Orang Betawi bertempat tinggal menyebar di tiga propinsi yaitu Provinsi DKI Jakarta, Banten (kota dan kabupaten Tangerang), dan Jawa Barat (kota dan kabupaten Bekasi, kota dan kabupaten Karawang, kota Depok, dan kabupaten Bogor, serta Kerawang). Orang Betawi berdasarkan statistik BPS tahun 2002 merupakan penduduk kedua terbesar (27%) setelah Jawa (32%)

(dari berbagai sumber)

BETAWI TIREM

peta betawi

Syahdan pada tarikh awal Saka datanglah berbondong-bondong pendatang dari negeri Cina, Bharatawarsya (India), Syangka, Saliwahana, Benggala (Bangladesh) dengan menggunakan perahu. Mereka membawa anak, isteri, serta sanak keluarga ke Nusantara untu bermukim. 

Ada pula perahu yang membawa para pendeta Hindu beraliran Waisnawa (pemuja Dewa Wishnu) dan Syaiwa (pemuja Dewa Syiwa). Pendeta-pendeta beraliran Waisnawa berkeliling di desa-desa sekitar bagian barat pulau Jawa, dan akhirnya menetap di daerah tersebut. Sementara para pendeta beraliran Syaiwa menetap di bagian tengah dan timur pulau Jawa.

Diantara sekian banyak pendatang, yang paling banyak adalah para pendatang yang berasal dari wangsa Calan-Kayana dan Palawa di Bharatawarsya. Kebanyakan dari mereka adalah para pengungsi perang, setelah Negara mereka ditaklukan oleh kerajaan Magadha. Disamping itu ada pula diantara mereka yang datang untuk berniaga, diataranya adalah kelompok pendatang yang dipimpin oleh Dewawarman dari wangsa Palawa.
.
Dewawarman merupakan seorang duta besar keliling untuk negara-negara mitra seperti kerajaan-kerajaan di Hujung Medini, Bumi Sopala, Yawana, Syangka, Cina, dan Abasyid (Mesopotamia). Selain bertujuan untuk mempererat persahabatan, mereka juga berniaga hasil bumi serta barang-barang lainnya. Begitu pula ketika berhubungan dengan pulau Jawa sebelah barat, Nusa Api (Krakatau), dan pesisir selatan Swarnadvipa (Sumatera).

Di Jawa bagian barat, tepatnya di pedukuhan Rajatapura lewat peranan pemimpin pedukuhan Aki Tirem Sang Luhur Mulya, Dewawarman menemukan takdirnya sebagai orang yang pertama memimpin negara berpenghasil perak itu. Melalui tangannya, pengaruhnya mulai memberi sentuhan pada kebudayaan setempat, meski diakuinya bahwa sebelum kedatangan mereka, penduduk lokal telah memiliki kecakapan dan pengetahuan kebudayaan yang sangat tinggi.


-Prabhu Dharma Lokapala Sang Angling Dharma

“….ciaaaaat…..ciaaaaat…….!”                 

 “…trang….trang…..”
“….wuuuut…..wuuuuut…..”

Teriakan orang-orang dan bunyi sabetan dan benturan pedang saling bersahutan, menyaingi gemuruh ombak di pantai ujung barat pulau Jawa. Kurang lebih hampir seratus orang terlibat dalam pertempuran itu, dimana dua kekuatan yang saling berhadapan mempertahankan kepentingannya masing-masing. Kekuatan yang tidak seimbang jika dilihat dari jumlah orang terlibat, karena kekuatan lawan dua kali melebihi penduduk setempat.

Pihak lawan berkulit kuning yang berperan sebagai perompak, tampak lebih lincah dalam melakukan setiap gerakan bela diri nya.  Sementara pihak penduduk yang bertelanjang dada hanya sekali-sekali saja melakukan balasan ketika diserang, itupun dengan gerakan-gerakan bela diri yang sederhana saja. Namun uniknya setiap gerakan bela diri yang sederhana itu memiliki efektifitas dalam menjatuhkan lawan, terutama dalam pertarungan jarak dekat.

Di tengah medan pertempuran tampak seorang yang tinggi besar agak berbeda dari warna kulit penduduk lainnya, dapat dipastikan dialah pemimpin penduduk lokal yang mempunyai kemampuan luar biasa dengan dua bilah golok besar dikedua tangannya. Golok besar itu berkelebat kesana kemari seakan bergerak sendiri, menghampiri setiap musuh yang datang dengan senjata tombak, pedang atau bahkan senjata yang berterbangan sekalipun. Ya… dialah Dewawarman, pendatang dari negeri Calan-Kayana, pembela orang-orang Rajataputra di ujung barat pulau Jawa itu.

“Cepaaat, habiskan mereka”…

“hanya dengan kecepatan dan ketepatanlah yang dapat mengungguli mereka”…
“jangan takut, kebenaran di pihak kita, kita pasti menang”…!

Sekali-sekali Dewawarman memompa semangat penduduk pimpinan Aki Tirem, yang tiga diantaranya adalah prajurit tangguh bawaannya dari Calan-Kayana, yaitu Gotala, Sawangga dan Dhyaputra. Ketiganya konsisten membuat lingkaran yang sepertinya melindungi Aki Tirem Sang Luhur Mulya, yang sangat dihormati Dewawarman sebagai pemimpin pedukuhan, disamping itu usia dan fisik Aki Tirem yang sudah tidak muda lagi, dia perlu pengawalan prajuritnya membentuk empat sudut pertahanan dengan Aki Tirem sebagai “pancer” nya.

“Sudahlah Aki, lebih baik Aki berlindung saja…lindungi Sri Pawahaci dari jamahan orang-orang kuning itu…! 

Sergah Gotala kepada Aki Tirem. 

“Tidaak…lebih baik aku mati mempertahankan pedukuhan ini, lagipula adeg-adeg ku masih kuat sampai 200 jurus sekalipun”

“…aku yakin kita mampu menaklukan mereka, dan tidak ada satupun yang dapat menjamah Sri Pawahaci anakku…”

Jawab Aki Tirem membantah Gotala.

pusaka aki tirem, konon

Ternyata benar dugaan Aki Tirem, tidak sampai sepeminuman teh, para perompak mulai mengurangi aksinya, karena sadar pasukan yang dimiliki kian berkurang hingga akhirnya seseorang dari perompak itu melemparkan pedang menghentikan pertarungan sambil berlutut menghamba di kaki Dewawarman. Dan ternyata yang berlutut itu adalah pemimpin gerombolan perompak yang datang dari utara.

“…ampuni kami paduka, kami mengakui kehebatan paduka…”

Dewawarman hanya tersenyum kecut, sambil mengusap wajahnya yang berpeluh…dia berucap

“kiranya permohonan maaf saja tidak cukup untuk menghentikan pekerjaan jahat kalian…”

“sudah tidak terhitung lagi nyawa manusia yang kalian hilangkan, sudah berapa pedukuhan yang kalian rampok dan bumi hanguskan di pulau Samiam dan pulau Kijang…belum lagi di Svarnadvipa…?”

“Aku bukan pemimpin pedukuhan ini, hanya beliaulah yang pantas menentukan hukuman untuk kalian..”

Dewawarman dengan gagah menunjuk Aki Tirem sebagai pimpinan pedukuhan.
Aki Tirem hanya tertegun memandangi Dewawarman yang menunjuk ke arahnya, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap para perompak itu.

“Sudahlah, kau saja Dewawarman…”

“Aku sudah kadung percaya kepadamu untuk memimpin perlawanan ini…”

“Yang terpenting bagaimana caranya agar nyawa ketujuh orang-orang ku yang mati di tangan mereka dapat tenang di alamnya sana…”

Tukas Aki Tirem menyanggah Dewawarman ketus.

Bergegas sang pemimpin perompak beringsut menghampiri Aki Tirem yang setengah berdiri tanda kelelahan.

“…ampuni kami paduka, apakah nyawa ke 37 teman-teman kami tidak cukup menebus kematian tujuh orang paduka…?”

Ucap sang pemimpin perompak sambil memelas

“tidaaak….!”

Hardik Aki Tirem lantang,

“Apakah kalian tidak memikirkan orang-orang yang ditinggalkan ketujuh orangku itu..?”

“bagaimana nasib anak dan isterinya, siapa yang akan memberikan penghidupan?...sedangkan kerajinan perak yang dilakukan adalah keahlian yang dimiliki para lelaki, yang kalian bunuh itu…?”

“Cuma lantaran kilauan perak yang kalian lihat dari lautan, hingga tega menghabisi pedukuhan kami…?”

Tangkis Aki Tirem…

Kemudian dengan diliputi rasa emosi akan bayangan perompakan di masa lalu, Aki Tirem tanpa sadar mengacuhkan Dewawarman untuk mengeksekusi perompak yang tersisa.

“Sudahlah Dewawarman, kalau kau tidak punya keputusan akan hukuman apa yang setimpal buat mereka…biar aku saja yang putuskan!”

Gemeretak rahang Aki Tirem menahan amarah dalam ucapannya…

“siapkan 22 tiang gantungan untuk mereka, sita semua perahu, senjata, dan kebutuhan logistik yang mereka bawa, lalu bagikan kepada keluarga yang ditinggal mati ke tujuh orangku…!”

Lalu Aki Tirem pergi meninggalkan areal pertempuran itu tanpa berkata-kata lagi.


Pernikahan

Sebagai ucapan rasa terima kasih, puteri pimpinan pedukuhan Aki Tirem yang bernama Sri Pawahaci (Pohaci) Larasati dinikahkan dengan Dewawarman. Sejak itulah Dewawarman dan ketiga pengikutnya menetap disitu dan mengambil istri dari gadis-gadis pribumi dan beranak pinak. Pestanya sendiri diselenggarakan dengan amat meriah. 

“Tang…ting…tung…”

Bunyi gamelan sampyong mewarnai pesta pernikahan antara Dewawarman dan Sri Pawahaci Larasati, yang duduk di pelaminan sambil menikmati hiburan tarian Uncul.
Dewawarman terkagum-kagum dengan bentuk tarian itu, tarian yang sepertinya ada unsur bela diri di dalamnya. 

Dengan penuh rasa penasaran Dewawarman menanyakan hal ini kepada Aki Tirem yang duduk disebelahnya.

“Aki Tirem sang Luhur Mulya, gerangan apa tarian yang gerakkannya seperti memukul dan menendang itu…?”

Aki Tirem hanya tersenyum dan berupaya menjelaskannya kepada menantu yang memang orang asing itu.

“Oooh…itu adalah tarian Uncul, yang memang sekilas seperti memukul dan menendang…memang begitu adanya karena Uncul merupakan tarian pembuka untuk atraksi Ujungan, yang bela diri sesungguhnya”

“Sebenarnya Ujungan sendiri itu merupakan bagian dari Uncul, Cuma bedanya Ujungan menggunakan senjata rotan yang diibaratkan senjata pedang dalam pertempuran sesungguhnya, sedangkan Uncul menggunakan tangan kosong”.

Sambil mengangguk-angguk Dewawarman memperhatikan dengan seksama gerakan tarian Uncul yang dimainkan, mengingatkannya pada satu seni bela diri yang dia kuasai, yang dibawa dari tanah kelahirannya Calan-Kayana di Bharatawarsya.

Selang tidak beberapa lama Aki Tirem jatuh sakit, ia berpesan kepada menantunya, Dewawarman untuk menggantikannya sebagai pimpinan pedukuhan. Dewawarman tidak menolak keinginan Aki Tirem, begitu pula penduduk. 

Tidak beberapa lama Aki Tirem pun mengundurkan diri dari keramaian dunia dan pergi bertapa. Dewawarman kemudian dinobatkan menjadi raja pertama Salakanagara, dan meninggalkan pesan kepada Dewawarman untuk memindahkan pedukuhan lebih jauh kedalam dengan nama Salakanagara (Negara Perak). Hal ini dimaksudkan agar sedini mungkin untuk menghindari para perompak yang datang dari lautan, karena tergiur dengan kilauan perak yang dihasilkan dari kerajinan penduduk.

Sepeninggalan Aki Tirem, Dewawarman naik sebagai raja dengan gelar Prabhu Dharma Lokapala Dewawarman Haji Raksa Gapura Sagara atau Dewawarman I, orang banyak yang lebih mengenalnya sebagai An (ng) kling Dharma, yang berarti air muka (raut) yang baik. Ada yang mengartikan berwajah tampan karena dari India walau berwajah k(e)ling. Sedangkan istrinya Sri Pawahaci Larasati menjadi permaisuri bergelar Dewi Dhwani Rahayu. Mereka dinobatkan sebagai raja dan permaisuri pada tahun 52 Saka/130 M, dan berkuasa hingga tahun 90 Saka/168 M. Atau juga penyerahan kekuasaan tersebut terjadi pada tahun 122 M. Dan pada saat itu diberlakukan pula penanggalan Sunda yang dikenal dengan sebutan Saka Sunda.

Wilayah kekuasaannya sebelah barat Jawa Barat, termasuk pulau sebelah barat pulau Jawa (pulau Samiam, pulau Kijang dan lainnya), Selat Sunda, dan sebelah selatan Svarnadvipa. Kerajaan ini kemudian diberi nama Salakanagara dengan pusat pemerintahan di Rajatapura. Saat ia berkuasa, Dewawarman I mengirim duta ke berbagai Negara untuk mengikat persahabatan dan dalam rangka memajukan perniagaan Salakanagara.

Klan Dewawarman menjadi raja Salakanagara secara turun menurun. Dewawarman I berkuasa selama 38 tahun sejak dinobatkan pada tahun 52 Saka atau 130 M. Selama masa pemerintahan dia pun mengutus adiknya yang merangkap Senapati, bernama Bahadur Harigana Jayasakti untuk menjadi raja daerah Mandala, Ujung Kulon. Sedangkan adiknya yang lain, bernama Sweta Liman Sakti dijadikan raja daerah Tanjung Kidul dengan ibukotanya Agrabhintapura. Nama Agrabhinta dimungkinkan terkait dengan nama daerah berada di daerah Cianjur Selatan, sekarang menjadi daerah perkebunan Agrabhinta, hanya karena sulit diakses, daerah tersebut seperti menjadi daerah tertinggal.

Dalam catatan sejarah, raja-raja Salakanagara yang menggunakan nawa Dewawarman sampai pada Dewawarman IX. Hanya saja setelah Dewawarman VIII, atau pada tahun 362 pusat pemerintahan dari Rajatapura dialihkan ke Tarumanagara. Sedangkan Salakanagara pada akhirnya menjadi kerajaan bawahan Tarumanagara.

Selama kejayaan Salakanagara gangguan yang sangat serius datangnya dari para perompak. Hingga pernah kedatangan perompak Cina. Namun berkat keuletan Dewawarman dengan membuka hubungan diplomatik dengan Cina dan India pada akhirnya Salakanagara dapat hidup damai dan sentausa.

Selain adanya perkiraan jejak peninggalan Salakanagara, seperti batu menhir, dolmen dan batu magnet yang terletak di daerah Banten, berdasarkan penelitian juga ditemukan bahwa penanggalan sunda atau Kala Sunda dinyatakan ada sejak zaman Aki Tirem. Penanggalan tersebut kemudian dinamakan Caka Sunda. Perhitungan Kala Saka mendasarkan pada Matahari 365 hari dan Bulan 354 hari. Masing-masing tahun mengenal taun pendek dan panjang.


Salakanagara berlangsung selama 273 tahun (Dewawarman I – Dewawarman VIII), dan dari kerajaan Salakanagara inilah cikal bakal kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa Barat.



Rakeyan dari Sancang

Menjelang tahun milenium, sejarawan Sunda Ir H. Dudung Fathirrohman mendapat informasi dari seorang Ulama Mesir, bahwa Khulafaur Rasyiddin Sayidina Ali bin Abi Thalib RA dalam pertempuran menalukkan Cyprus, Tripoli dan Afrika Utara, serta dalam membangun kekuasaan Muslim di Iran, Afghanistan dan Sind (644-650 M) mendapatkan bantuan dari seorang tokoh asal Asia Timur Jauh (Javadvipa).

Sebelum informasi itu ada oleh naskah kuno Pangeran Wangsakerta, orang itu ditulis sebagai putra raja Tarumanagara ke VIII Kertawarman (561-628 M), yang bernama Rakeyan Sancang. Namun karena anak dari isteri ke-tiga (bernama Wwang Amet Samidha ) yang berasal dari luar kerajaan (tidak resmi) putri seorang pencari kayu bakar, oleh kalangan istana Rakeyan Sancang tidak diakui sebagai keluarga kerajaan. Dengan kekecewaan mendalam dan dendam yang membara, Rakeyan Sancang menempa diri membangun kekuatan dengan cara bertapa dan berkerabat dengan segala kesaktian “para penghuni” di hutan Sancang yang sejak dahulu kala dikenal wiwit dan angker.

Dalam kalangan istana kerajaan, Kertawarman diakui memiliki dua orang isteri, isteri pertama dari Calankayana, dan istri yang kedua berasal janda beranak satu dari Svarnadvipa, namun dari semua perkawinan itu tidak memiliki anak sehingga mengangkat anak dari isteri yg berasal dari Svarnadvipa itu, yag bernama Brajagiri dan kemudian diakuinya sebagai anaknya sendiri.

Rakeyan Sancang (anak kandung dari isteri di luar kerajaan), dalam hal ini bukanlah Rakeyan Santang (Kian Santang) Putra Jayadewata (Siliwangi) yang selama ini anggapan masyarakat umum sebagai orang yang pernah bersua dan beradu kekuatan dengan Sayidina Ali. Rakeyan Sancang yang dimaksud disini merupakan anak dari raja Tarumanagara ke VIII Prabu Kertawarman, dari hasil perkawinannya dengan gadis desa putri seorang pencari kayu bakar di daerah hutan Sancang (Selatan Garut).

Rakeyan merupakan gelar bangsawan kerajaan Sunda, yang pada masa kini dapat disejajarkan dengan pangeran akan tetapi belum dapat dikategorikan sebagai putra mahkota.

Dalam kisah ini menceritakan bagaimana Islam telah masuk ke tatar Sunda (Garut), melebihi daerah-daerah lain di Nusantara karena dari angka tahun berkuasanya Kertawarman di kerajaan Tarumanagara dan keberadaan Rakeyan Sancang, dapat disimpulkan bahwa peristiwa ini terjadi bersamaan dengan masa ke-Nabian Rasulullah SAW dan kekhalifahan Sayidina Ali bin Abi Thalib RA.

Untuk lebih jelasnya di bawah ini susunan raja-raja Tarumanagara:

1.   Jayasingawarman (358-382 M)
2.   Dharmayawarman (382-395 M)
3.   Purnawarman (395-434 M)
4.   Wisnuwarman (434-455 M)
5.   Indrawarman (455-515 M)
6.   Candrawarman (515-535 M)
7.   Suryawarman (535-561 M)
8.   Kertawarman (561-628 M)
9.   Sudhawarman (628-639 M)
10.   Hariwangsawarman (639-640 M)
11.   Nagajayawarman (640-666 M)
12.   Linggawarman (666-669 M)


-Lodaya Menjadi Saksi Kelahirannya

Disebuah gubug di pinggiran hutan Sancang…

“Sudahlah dinda Samidha, jangan kau teteskan air matamu hingga membebani langkahku. Jangan pernah menyesali apa yang telah terjadi”….

Begitu ucapan Sang Prabu Kertawarman menghibur Wwang Amet Samidha ketika akan meninggalkan keluarga Ki Prangdhami dan Nyi Sembadha di pinggiran hutan Sancang. Sepuluh hari sudah Prabu Kertawarman mengalami “masa indah” dengan Awwet Samidha meski hatinya tak tega meninggalkan kekasih hati yang baru dinikahinya itu, namun perbedaan derajat sosial memutus tautan cintanya.

Terkadang hatinya menolak takdir feodal yang ada dalam dirinya, dilahirkan sebagai seorang dari dinasti Warman (jubah perang) kerajaan Tarumanagara. Dinasti yang menjadi penghalang hubungan cintanya dengan Awwet Samidha. Bagaimana mungkin seorang raja beristerikan putri seorang pencari kayu bakar?...

“Pergilah paduka, dan jangan pernah menoleh ke belakang, tinggalkan kami yang hina ini. Kami pun rumasa jika harus bertempat tinggal di Chandrabraga, istana paduka”

Dengan bergetar kata-kata Ki Prangdhami menepis keragu-raguan Sang Prabu Kertawarman, pertanda ada ganjalan sedih dalam hatinya mengingat Amet Samidha adalah putri semata wayang yang amat dikasihinya.

"Mari Nyi kita masuk, hari sudah burit...biarkanlah Awwet Samidha berteman dengan lamunan indahnya..."

Sambil menutup tirai Ki Pringdhami dan Nyi Sembada isterinya, menutup hari itu...meninggalkan Awwet Samidha seorang diri.


(dari berbagai sumber)