pusaka aki tirem, konon
Ternyata benar dugaan Aki Tirem, tidak sampai sepeminuman teh, para perompak mulai mengurangi aksinya, karena sadar pasukan yang dimiliki kian berkurang hingga akhirnya seseorang dari perompak itu melemparkan pedang menghentikan pertarungan sambil berlutut menghamba di kaki Dewawarman. Dan ternyata yang berlutut itu adalah pemimpin gerombolan perompak yang datang dari utara.
“…ampuni kami paduka, kami mengakui kehebatan paduka…”
Dewawarman hanya tersenyum kecut, sambil mengusap wajahnya yang berpeluh…dia berucap
“kiranya permohonan maaf saja tidak cukup untuk menghentikan pekerjaan jahat kalian…”
“sudah tidak terhitung lagi nyawa manusia yang kalian hilangkan, sudah berapa pedukuhan yang kalian rampok dan bumi hanguskan di pulau Samiam dan pulau Kijang…belum lagi di Svarnadvipa…?”
“Aku bukan pemimpin pedukuhan ini, hanya beliaulah yang pantas menentukan hukuman untuk kalian..”
Dewawarman dengan gagah menunjuk Aki Tirem sebagai pimpinan pedukuhan. Aki Tirem hanya tertegun memandangi Dewawarman yang menunjuk ke arahnya, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap para perompak itu.
“Sudahlah, kau saja Dewawarman…”
“Aku sudah kadung percaya kepadamu untuk memimpin perlawanan ini…”
“Yang terpenting bagaimana caranya agar nyawa ketujuh orang-orang ku yang mati di tangan mereka dapat tenang di alamnya sana…”
Tukas Aki Tirem menyanggah Dewawarman ketus.
Bergegas sang pemimpin perompak beringsut menghampiri Aki Tirem yang setengah berdiri tanda kelelahan.
“…ampuni kami paduka, apakah nyawa ke 37 teman-teman kami tidak cukup menebus kematian tujuh orang paduka…?”
Ucap sang pemimpin perompak sambil memelas
“tidaaak….!”
Hardik Aki Tirem lantang,
“Apakah kalian tidak memikirkan orang-orang yang ditinggalkan ketujuh orangku itu..?”
“bagaimana nasib anak dan isterinya, siapa yang akan memberikan penghidupan?...sedangkan kerajinan perak yang dilakukan adalah keahlian yang dimiliki para lelaki, yang kalian bunuh itu…?”
“Cuma lantaran kilauan perak yang kalian lihat dari lautan, hingga tega menghabisi pedukuhan kami…?”
Tangkis Aki Tirem…
Kemudian dengan diliputi rasa emosi akan bayangan perompakan di masa lalu, Aki Tirem tanpa sadar mengacuhkan Dewawarman untuk mengeksekusi perompak yang tersisa.
“Sudahlah Dewawarman, kalau kau tidak punya keputusan akan hukuman apa yang setimpal buat mereka…biar aku saja yang putuskan!”
Gemeretak rahang Aki Tirem menahan amarah dalam ucapannya…
“siapkan 22 tiang gantungan untuk mereka, sita semua perahu, senjata, dan kebutuhan logistik yang mereka bawa, lalu bagikan kepada keluarga yang ditinggal mati ke tujuh orangku…!”
Lalu Aki Tirem pergi meninggalkan areal pertempuran itu tanpa berkata-kata lagi.
Pernikahan
Sebagai ucapan rasa terima kasih, puteri pimpinan pedukuhan Aki Tirem yang bernama Sri Pawahaci (Pohaci) Larasati dinikahkan dengan Dewawarman. Sejak itulah Dewawarman dan ketiga pengikutnya menetap disitu dan mengambil istri dari gadis-gadis pribumi dan beranak pinak. Pestanya sendiri diselenggarakan dengan amat meriah.
“Tang…ting…tung…”
Bunyi gamelan sampyong mewarnai pesta pernikahan antara Dewawarman dan Sri Pawahaci Larasati, yang duduk di pelaminan sambil menikmati hiburan tarian Uncul. Dewawarman terkagum-kagum dengan bentuk tarian itu, tarian yang sepertinya ada unsur bela diri di dalamnya.
Dengan penuh rasa penasaran Dewawarman menanyakan hal ini kepada Aki Tirem yang duduk disebelahnya.
“Aki Tirem sang Luhur Mulya, gerangan apa tarian yang gerakkannya seperti memukul dan menendang itu…?”
Aki Tirem hanya tersenyum dan berupaya menjelaskannya kepada menantu yang memang orang asing itu.
“Oooh…itu adalah tarian Uncul, yang memang sekilas seperti memukul dan menendang…memang begitu adanya karena Uncul merupakan tarian pembuka untuk atraksi Ujungan, yang bela diri sesungguhnya”
“Sebenarnya Ujungan sendiri itu merupakan bagian dari Uncul, Cuma bedanya Ujungan menggunakan senjata rotan yang diibaratkan senjata pedang dalam pertempuran sesungguhnya, sedangkan Uncul menggunakan tangan kosong”.
Sambil mengangguk-angguk Dewawarman memperhatikan dengan seksama gerakan tarian Uncul yang dimainkan, mengingatkannya pada satu seni bela diri yang dia kuasai, yang dibawa dari tanah kelahirannya Calan-Kayana di Bharatawarsya.
Selang tidak beberapa lama Aki Tirem jatuh sakit, ia berpesan kepada menantunya, Dewawarman untuk menggantikannya sebagai pimpinan pedukuhan. Dewawarman tidak menolak keinginan Aki Tirem, begitu pula penduduk.
Tidak beberapa lama Aki Tirem pun mengundurkan diri dari keramaian dunia dan pergi bertapa. Dewawarman kemudian dinobatkan menjadi raja pertama Salakanagara, dan meninggalkan pesan kepada Dewawarman untuk memindahkan pedukuhan lebih jauh kedalam dengan nama Salakanagara (Negara Perak). Hal ini dimaksudkan agar sedini mungkin untuk menghindari para perompak yang datang dari lautan, karena tergiur dengan kilauan perak yang dihasilkan dari kerajinan penduduk.
Sepeninggalan Aki Tirem, Dewawarman naik sebagai raja dengan gelar Prabhu Dharma Lokapala Dewawarman Haji Raksa Gapura Sagara atau Dewawarman I, orang banyak yang lebih mengenalnya sebagai An (ng) kling Dharma, yang berarti air muka (raut) yang baik. Ada yang mengartikan berwajah tampan karena dari India walau berwajah k(e)ling. Sedangkan istrinya Sri Pawahaci Larasati menjadi permaisuri bergelar Dewi Dhwani Rahayu. Mereka dinobatkan sebagai raja dan permaisuri pada tahun 52 Saka/130 M, dan berkuasa hingga tahun 90 Saka/168 M. Atau juga penyerahan kekuasaan tersebut terjadi pada tahun 122 M. Dan pada saat itu diberlakukan pula penanggalan Sunda yang dikenal dengan sebutan Saka Sunda.
Wilayah kekuasaannya sebelah barat Jawa Barat, termasuk pulau sebelah barat pulau Jawa (pulau Samiam, pulau Kijang dan lainnya), Selat Sunda, dan sebelah selatan Svarnadvipa. Kerajaan ini kemudian diberi nama Salakanagara dengan pusat pemerintahan di Rajatapura. Saat ia berkuasa, Dewawarman I mengirim duta ke berbagai Negara untuk mengikat persahabatan dan dalam rangka memajukan perniagaan Salakanagara.
Klan Dewawarman menjadi raja Salakanagara secara turun menurun. Dewawarman I berkuasa selama 38 tahun sejak dinobatkan pada tahun 52 Saka atau 130 M. Selama masa pemerintahan dia pun mengutus adiknya yang merangkap Senapati, bernama Bahadur Harigana Jayasakti untuk menjadi raja daerah Mandala, Ujung Kulon. Sedangkan adiknya yang lain, bernama Sweta Liman Sakti dijadikan raja daerah Tanjung Kidul dengan ibukotanya Agrabhintapura. Nama Agrabhinta dimungkinkan terkait dengan nama daerah berada di daerah Cianjur Selatan, sekarang menjadi daerah perkebunan Agrabhinta, hanya karena sulit diakses, daerah tersebut seperti menjadi daerah tertinggal.
Dalam catatan sejarah, raja-raja Salakanagara yang menggunakan nawa Dewawarman sampai pada Dewawarman IX. Hanya saja setelah Dewawarman VIII, atau pada tahun 362 pusat pemerintahan dari Rajatapura dialihkan ke Tarumanagara. Sedangkan Salakanagara pada akhirnya menjadi kerajaan bawahan Tarumanagara.
Selama kejayaan Salakanagara gangguan yang sangat serius datangnya dari para perompak. Hingga pernah kedatangan perompak Cina. Namun berkat keuletan Dewawarman dengan membuka hubungan diplomatik dengan Cina dan India pada akhirnya Salakanagara dapat hidup damai dan sentausa.
Selain adanya perkiraan jejak peninggalan Salakanagara, seperti batu menhir, dolmen dan batu magnet yang terletak di daerah Banten, berdasarkan penelitian juga ditemukan bahwa penanggalan sunda atau Kala Sunda dinyatakan ada sejak zaman Aki Tirem. Penanggalan tersebut kemudian dinamakan Caka Sunda. Perhitungan Kala Saka mendasarkan pada Matahari 365 hari dan Bulan 354 hari. Masing-masing tahun mengenal taun pendek dan panjang.
Salakanagara berlangsung selama 273 tahun (Dewawarman I – Dewawarman VIII), dan dari kerajaan Salakanagara inilah cikal bakal kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa Barat.
Rakeyan dari Sancang
Menjelang tahun milenium, sejarawan Sunda Ir H. Dudung Fathirrohman mendapat informasi dari seorang Ulama Mesir, bahwa Khulafaur Rasyiddin Sayidina Ali bin Abi Thalib RA dalam pertempuran menalukkan Cyprus, Tripoli dan Afrika Utara, serta dalam membangun kekuasaan Muslim di Iran, Afghanistan dan Sind (644-650 M) mendapatkan bantuan dari seorang tokoh asal Asia Timur Jauh (Javadvipa).
Sebelum informasi itu ada oleh naskah kuno Pangeran Wangsakerta, orang itu ditulis sebagai putra raja Tarumanagara ke VIII Kertawarman (561-628 M), yang bernama Rakeyan Sancang. Namun karena anak dari isteri ke-tiga (bernama Wwang Amet Samidha ) yang berasal dari luar kerajaan (tidak resmi) putri seorang pencari kayu bakar, oleh kalangan istana Rakeyan Sancang tidak diakui sebagai keluarga kerajaan. Dengan kekecewaan mendalam dan dendam yang membara, Rakeyan Sancang menempa diri membangun kekuatan dengan cara bertapa dan berkerabat dengan segala kesaktian “para penghuni” di hutan Sancang yang sejak dahulu kala dikenal wiwit dan angker.
Dalam kalangan istana kerajaan, Kertawarman diakui memiliki dua orang isteri, isteri pertama dari Calankayana, dan istri yang kedua berasal janda beranak satu dari Svarnadvipa, namun dari semua perkawinan itu tidak memiliki anak sehingga mengangkat anak dari isteri yg berasal dari Svarnadvipa itu, yag bernama Brajagiri dan kemudian diakuinya sebagai anaknya sendiri.
Rakeyan Sancang (anak kandung dari isteri di luar kerajaan), dalam hal ini bukanlah Rakeyan Santang (Kian Santang) Putra Jayadewata (Siliwangi) yang selama ini anggapan masyarakat umum sebagai orang yang pernah bersua dan beradu kekuatan dengan Sayidina Ali. Rakeyan Sancang yang dimaksud disini merupakan anak dari raja Tarumanagara ke VIII Prabu Kertawarman, dari hasil perkawinannya dengan gadis desa putri seorang pencari kayu bakar di daerah hutan Sancang (Selatan Garut).
Rakeyan merupakan gelar bangsawan kerajaan Sunda, yang pada masa kini dapat disejajarkan dengan pangeran akan tetapi belum dapat dikategorikan sebagai putra mahkota.
Dalam kisah ini menceritakan bagaimana Islam telah masuk ke tatar Sunda (Garut), melebihi daerah-daerah lain di Nusantara karena dari angka tahun berkuasanya Kertawarman di kerajaan Tarumanagara dan keberadaan Rakeyan Sancang, dapat disimpulkan bahwa peristiwa ini terjadi bersamaan dengan masa ke-Nabian Rasulullah SAW dan kekhalifahan Sayidina Ali bin Abi Thalib RA.
Untuk lebih jelasnya di bawah ini susunan raja-raja Tarumanagara:
1. Jayasingawarman (358-382 M)
2. Dharmayawarman (382-395 M)
3. Purnawarman (395-434 M)
4. Wisnuwarman (434-455 M)
5. Indrawarman (455-515 M)
6. Candrawarman (515-535 M)
7. Suryawarman (535-561 M)
8. Kertawarman (561-628 M)
9. Sudhawarman (628-639 M)
10. Hariwangsawarman (639-640 M)
11. Nagajayawarman (640-666 M)
12. Linggawarman (666-669 M)
-Lodaya Menjadi Saksi Kelahirannya
Disebuah gubug di pinggiran hutan Sancang…
“Sudahlah dinda Samidha, jangan kau teteskan air matamu hingga membebani langkahku. Jangan pernah menyesali apa yang telah terjadi”….
Begitu ucapan Sang Prabu Kertawarman menghibur Wwang Amet Samidha ketika akan meninggalkan keluarga Ki Prangdhami dan Nyi Sembadha di pinggiran hutan Sancang. Sepuluh hari sudah Prabu Kertawarman mengalami “masa indah” dengan Awwet Samidha meski hatinya tak tega meninggalkan kekasih hati yang baru dinikahinya itu, namun perbedaan derajat sosial memutus tautan cintanya.
Terkadang hatinya menolak takdir feodal yang ada dalam dirinya, dilahirkan sebagai seorang dari dinasti Warman (jubah perang) kerajaan Tarumanagara. Dinasti yang menjadi penghalang hubungan cintanya dengan Awwet Samidha. Bagaimana mungkin seorang raja beristerikan putri seorang pencari kayu bakar?...
“Pergilah paduka, dan jangan pernah menoleh ke belakang, tinggalkan kami yang hina ini. Kami pun rumasa jika harus bertempat tinggal di Chandrabraga, istana paduka”
Dengan bergetar kata-kata Ki Prangdhami menepis keragu-raguan Sang Prabu Kertawarman, pertanda ada ganjalan sedih dalam hatinya mengingat Amet Samidha adalah putri semata wayang yang amat dikasihinya.
"Mari Nyi kita masuk, hari sudah burit...biarkanlah Awwet Samidha berteman dengan lamunan indahnya..."
Sambil menutup tirai Ki Pringdhami dan Nyi Sembada isterinya, menutup hari itu...meninggalkan Awwet Samidha seorang diri.
(dari berbagai sumber) |